Ingatlah sejenak waktu kita berada di sekolah
dasar atau sekolah menengah dahulu. Ingatkah kita pelajaran apa yang kita
sangat minati? Adakah didalamnya terdapat guru yang kita benci atau guru yang
sering marah. Atau informasi mana yang kita ingat, informasi dari guru yang
kita suka atau guru yang kita tidak suka? Tentu sebagian besar bahkan hampir
keseluruhan teringat dengan sosok guru yang selalu menghadirkan keceriaan dan kegembiraan
dalam kelasnya. Guru yang kita sukai menciptakan dalam diri kita suatu ikatan
emosionalnya terhadap belajar, yang mematri pelajaran tersebut dalam ingatan
kita.
Penelitian otak semakin menunjukan adanya
hubungan antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang, dan belajar. Dalam
buku Quantum teaching, Bobbi DePorter yang menukil dari Peneliti dan psikolog
kognitif Dr Daniel Goleman menjelaskan:
“Dalam tarian perasaan dan pikiran, kekuatan emosi
menuntun keputusan kita saat demi saat, bekerja bahu membahu dengan pikiran
rasional, mengaktifkan-atau menonaktifkan-pikiran itu sendiri. Boleh bilang,
kita mempunyai dua otak, dua pikiran –dan dua jenis kecerdasan:rasional dan
emosional. Bagaimana kita berkiprah dalam hidup (dan belajar) ditentukan oleh keduanya-
bukan hanya IQ saja, melainkan kecerdasan emosional juga berperan. Tentu saja,
intelek tidak dapat bekerja pada puncaknya tanpa kecerdasan emosional”(Goleman,
1995, h.28)
Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk "merekatkan" pelajaran dalam ingatan.
Ketika menerima tekanan atau ancaman kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. otak "dibajak secara emosional"(Goleman, 1995) menjadi mode tempur-atau-kabur dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup.Ketersediaan hubungan dan kegiatan saraf benar-benar berkurang dan sangat mengecil.Fenomena ini dikenal sebagai downshifting, merupakan tanggapan psikologis dan dapat menghentikan proses belajar saat itu dan setelah itu (Maclean, 1990). Kemampuan murid anda benar-benar berkurang.
Ketika menerima tekanan atau ancaman kapasitas saraf untuk berpikir rasional mengecil. otak "dibajak secara emosional"(Goleman, 1995) menjadi mode tempur-atau-kabur dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup.Ketersediaan hubungan dan kegiatan saraf benar-benar berkurang dan sangat mengecil.Fenomena ini dikenal sebagai downshifting, merupakan tanggapan psikologis dan dapat menghentikan proses belajar saat itu dan setelah itu (Maclean, 1990). Kemampuan murid anda benar-benar berkurang.
Untungnya otak juga melakukan sebaliknya. Dengan tekanan positif atau suportif, dikenal dengan eustress, otak dapat terlibat secara emosional dan memungkinkan kegiatan saraf maksimal.
Kuncinya adalah membangun ikatan emosional tersebut yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan menyingkirkan segala macam ancaman dari suasana belajar.
“Dengan memisahkan emosi dari logika dan
pemikiran dalam kelas, kita telah menyederhanakan manajemen sekolah dan
evaluasi, tetapi kita juga telah memisahkan dua sisi pada sebuah koin dan
akibatnya, kehilangan suatu hal yang penting. Kita tak mungkin bisa memisahkan
emosi dari kegiatan penting lain dalam kehidupan. Jangan coba-coba…”(Dr Robert
Sylwester, 1995. A Celebration of Neurons)
Dikutip dari buku Quantuum teaching
Tentunya penguatan ingatan akan semakin terbangun ketika kita melibatkan kecerdasan spiritual. Allah lah pemilik segala kecerdasan, kepada_Nya kita mohon pemahaman kita dan anak-anak kita, memohon dijauhkan dari sikap bodoh dan lupa. Semoga Allah meridhoi kita dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. (M. Al Khawarizmi)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !