Pendidikan anak ( tarbiyatul aulad ) bukanlah dimulai dari semenjak kandungan, sejatinya ia dimulai semenjak kita mencari pasangan hidup ( suami / istri ). Bagaimana bisa kita mengharapkan kehadiran anak yang shalih/ah jika kita memilih pasangan yang melalaikan sholat, yang tak pernah membasahi lisannya dengan tilawah, jauh dari Allah dan Rasulnya.
Salah satu
pondasi pendidikan tauhid dimulai dari penanaman nilai-nilai tauhid kepada sang
anak, dan salah satu kunci keberhasilan pendidikan anak adalah tepatnya metode
yang diberikan saat mengenalkan sang anak kepada penciptanya, Allah SWT. Selain
itu, teladan dari orang tua juga berperan penting mengantarkan anak menjadi
anak yang sholih. Pendidikan tauhid tidaklah mudah, terutama di zaman ini yang
semakin tidak kondusif. Orang-orang semakin mengutamakan tontonan ketimbang
tuntunan.
Masa usia
dini merupakan masa keemasan (golden age) bagi perkembangan intelektual seorang
manusia. Masa usia dini merupakan fase dasar untuk tumbuhnya kemandirian,
belajar untuk berpartisipasi, kreatif, imajinatif dan mampu berinteraksi. Hal
ini senada dengan ungkapan Ihat
(2003:55) bahwa perkembangan intelegensi, kepribadian dan perilaku sosial pada
manusia terjadi paling cepat pada usia dini, bahkan menurut Bloom (1984) bahwa separuh dari semua
potensi intelektual sudah terjadi pada umur empat tahun.
Oleh
karena itu, pendidikan dalam keluarga adalah madrasah yang pertama dan utama
bagi perkembangan seorang anak, sebab keluarga merupakan wahana yang pertama
untuk seorang anak dalam memperoleh keyakinan agama, nilai, moral, pengetahuan
dan keterampilan, yang dapat dijadikan patokan bagi anak dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Teladan itu bernama Luqman..
Tauhid
adalah berbicara mengenai keesaan Allah, asma wa shifat, uluhiyah, rububiyah
dan segala yang terkait dengan eksistensi Allah. Berbicara mengenai pendidikan
tauhid kepada anak, maka kita akan ingat bagaimana Luqman Al-Hakim mengajarkan
anaknya agar tidak menyekutukan Allah. Disebutkan kisahnya oleh firman Allah
SWT yang mengatakan :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya : ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman (31): 3)
Ibnu
Katsir Rahimahullah telah mengatakan
dalam kitab tafsirnya, bahwa Luqman berpesan kepada putranya sebagai orang yang
paling disayanginya dan paling berhak mendapat pemberian paling utama dari
pengetahuannya. Oleh karena itulah, Luqman dalam wasiat pertamanya berpesan
agar anaknya menyembah Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun seraya memperingatkan kepadanya :
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman (31): 3), yakni syirik
adalah dosa yang paling besar.
Sehubungan
dengan hal ini, Bukhari telah meriwayatkan melalui ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu yang telah menceritakan: “Ketika
ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik),” (QS. Al-An’aam
(6): 82). Kami berkata: ‘Wahai
Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya
sendiri?’ Rasulullah saw menyangkal melalui sabdanya: “Pengertiannya tidaklah seperti yang kalian katakan, bahwa mereka tidak
mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman, yang dimaksud kezhaliman ialah
kemusyrikan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya yang
disitir oleh firman-Nya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.”
(QS. Luqman (31): 3) (Bukhari, Kitab Ahaditsil Anbiya 3110)
Syirik
disini diungkapkan dengan perbuatan zhalim, mereka mencampur-adukkan iman
mereka dengan kezhaliman, yakni dengan kemusyrikan. Selanjutnya, Luqman
mengiringinya dengan pesan yang lain, yaitu agar anaknya menyembah Allah semata
dan berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana yang disebutkan dalam
firman-Nya:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Israa’ (17): 23)
Dan memang
Allah sering menggandengkan keduanya dalam Al-Qur’an.
Kita tidaklah sama dengan anak-anak kita..
Kita
bukanlah anak-anak kita, sehingga pendidikan yang dulu pernah kita dapat dari
orang tua kita tidaklah serta merta dapat diaplikasikan pula kepada anak-anak
kita, karena zamannnya telah berbeda. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim : ”Didiklah
anak-anakmu, sebab mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman yang berbeda
dengan zamanmu.”
Lingkungan
keluarga adalah yang paling banyak mempengaruhi kondisi psikologis dan
spiritual anak. Semoga beberapa alternatif sederhana dibawah ini dapat
menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak-anak kita:
1.
Tanamkan nilai-nilai tauhidullah (keesaan Allah) sejak awal. Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah
tema pertama yang kita ajarkan kepada anak-anak, tentu dengan bahasa dan
contoh-contoh yang sederhana. Agar terpatri dalam ruang pikirnya, siapa
penciptanya, siapa pemberi rizki, siapa pengatur hidup, siapa penguasa alam,
siapa yang pantas disembah, siapa yang menghidupkan dan mematikan, dll. Ajak
anak untuk mengenal Alloh Swt Maha Pencipta dengan menceritakan menggunakan
alat peraga baik gambar atau memperhatikan keadaan di lingkungan sekitar
seperti burung, ular, serta hewan atau lingkungan lainnya, atau tentang fakta
penciptaan organ tubuh seperti mata, hidung, telinga, dll.
2. Sejak
dini juga tanamkan pendidikan ma’rifaturrasul
(mengenal Rasulullah), agar ia memiliki teladan yang mampu menjadi pemandu
hidupnya, dan tidak salah pilih teladan. Apalagi, saat ini banyak para artis,
atau tokoh-tokoh khayalan dan rekaan yang mencoba merebut hati para anak-anak
kita, baik cerita rakyat seperti Gatot Kaca atau dari Barat seperti Superman,
Batman, Satria Baja Hitam, Power Rangers. Sekadar tahu tokoh-tokoh ini tidak
ada masalah, namun jadi masalah jika anak menjadikan mereka sebagai teladan
hidupnya, dan melupakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
3. Sejak
dini juga ditanamkan tarbiyah akhlaqiyah
wa sulukiyah (pembinaan akhlak dan perilaku). Agar anak menghormati orang
tua dan yang lebih tua, atau menyayanyi yang lebih muda. Agar anak tahu adab
makan, minum, berjalan, berpakaian, dan berbicara, serta adab-adab lainnya.
Supaya mereka menyayangi sahabat dan memaafkan musuh. Agar mereka tahu juga
batasan-batasan pergaulan dengan lawan jenis, agar tidak terjadi fitnah
dikemudian hari.
4. Sejak
dini juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh Islam, mulai para sahabat nabi, para
Imam dan ulama, para pahlawan dan mujahidin Islam, baik dalam atau luar negeri.
Bukan justru memperkenalkan mereka dengan bintang film, penyanyi, pemain sepak
bola, atau penghibur yang membuatnya jauh dari Allah dan kewajiban-kewajiban
agama.
5. Ajarkan
anak untuk berdoa sebelum melakukan aktivitas, sampaikan kepada mereka bahwa
berdoa berarti memohon pertolongan dan kelancaran kepada Allah SWT atas
aktivitas yang hendak dijalankan. Jangan lupa sesudahnya mengucapkan kalimat
hamdalah sebagai salah satu wujud kesyukuran. Sebelum memulai seluruh aktivitas
yang bersentuhan dengan proses pembelajaran usahakan melakukan Kebulatan Tekad
Pagi Hari. Hal ini merupakan pengganti salam penghormatan kepada ilmu, biasakan
anak membaca kebulatan tekad sebelum pelajaran dimulai :
”Rodhiitu billahi robba wa bil islami diinaa
wabimuhammadin nabiyya wa rosuula”
”Kami rela Alloh sebagai Rabb kami, Islam
sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul kami.” (Jaudah,
1999:30)
4. Bila
melarang anak, upayakan untuk tidak mengancamnya dengan dosa, neraka dan
hal-hal menakutkan lainnya. Pola pikir anak yang konkret operasional cenderung
sulit untuk memahami makna dosa, neraka, dsb. Cukup berikan mereka penjelasan
konkret yang dapat diterima oleh pikirannya, misalnya untuk melarang anak
mencuri, cukup berikan mereka penjelasan bahwa hal tersebut dapat menyakiti
orang lain karena berarti mengambil hak yang bukan miliknya.
5. Apabila
anak melakukan kesalahan, bantu mereka untuk menemukan jalan untuk memperbaiki
kesalahannya, tanpa harus mengancam dengan dosa, neraka dan sebagainya, karena hal
tersebut akan membuat persepsi anak negatif terhadap Islam.
6.
Sertakan anak saat menjalankan ibadah sehari-hari, seperti sholat berjamaah,
kegiatan pengajian, dsb. Jelaskan pula hikmah yang bisa mereka dapatkan dari
ibadah yang di jalankan. Dengan demikian, mereka akan semakin akrab dengan
aktivitas keagamaan.
7. Dalam
memilih hiburan, upayakan untuk memberikan anak tayangan-tayangan yang tidak
merusak aqidah. Hendaknya dirumah sering diperdengarkan ayat-ayat Allah,
lantunan ayat suci Al Qur’an baik dibaca sendiri oleh orang tua, atau melalui
kaset-kaset muratal. Ini lebih baik dan sangat baik demi keberkahan rumah dan
turunnya rahmat Allah. Paling tidak, lagu anak-anak / lagu islami yang syairnya
mendidik juga dapat kita perdengarkan.
8. Sediakanlah
anak-anak kita buku-buku bacaan yang mendidik, yang mampu menambah pengetahuan
agama dan akademik, serta iman mereka. Seperti buku-buku kisah tentang para
nabi, sahabat, atau buku-buku doa sederhana, hadits-hadits, atau majalah Islam
anak-anak. Dampingilah mereka untuk membantu memahaminya, sebagaimana kita
dampingi mereka ketika nonton televisi agar bisa menjauhi tontonan yang tidak
pantas. (Sebagusnya cegah mereka dari televisi, hingga saatnya nanti mereka
bisa membedakan mana baik mana buruk).
Semoga risalah
singkat ini dapat membantu kita menanamkan pondasi tauhid kepada anak-anak
kita, sehingga dapat mengantarkan mereka menjadi anak-anak yang sholih/ah. Man syabba fii syai’iin syaaba ‘alaih
(Barang siapa yang dididik dengan sesuatu, maka sesuatu itulah yang akan
membentuk dirinya hingga dewasa nanti)
Wallahu
a’lam
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !