Membaca
dan menulis merupakan tradisi islam. Hal ini tersirat dalam
Al-Quran. Sesungguhnya Al-Quran adalah
kitab yang luar biasa. Wahyu yang pertama kali diturunkan bukanlah perintah
shalat, puasa, zakat, atau yang lainnya akan tetapi ayat-ayat yang
memerintahkan untuk
membaca. “Bacalah!”. Ayat-ayat tersebut merupakan rahmat pertama
yang di berikan Allah SWT kepada para hamba-Nya dan nikmat pertama yang
dicurahkan Allah kepada mereka. Allah Berfirman yang artinya :
“Nun, demi kalam (pena) dan apa yang mereka
tuliskan (Qs. Al-Qalam(68):1)
Ayat
di atas tidak asing lagi bagi kita. Ayat yang menegaskan pentingnya menulis sebagai tradisi
yang harus dimiliki umat Islam. Tradisi menulis ini berkaitan erat dengan
tradisi membaca yang telah dititahkan Allah SWT dalam surat Al-Alaq ayat
pertama.
Kedua
tradisi inilah yang terus membingkai setiap aktivitas ulama dan intelektual
muslim tempo dulu sehingga mampu mengikat ilmu dan menyebarkannya. Bahkan Ali
bin Abi Thalib ra mengatakan “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Betapa
pentingnya tradisi literasi ini hingga sahabat rasulullah inipun mengingatkan
pada kita pada tradisi ulama islam.
Sebuah
pernyataan menarik yang dituliskan oleh Dwi Budiyanto (2009,170-171) bahwa
membaca menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban Islam. Sebuah
peradaban yang meletakkan kesadaran dan pengetahuan sebagai titik awal
perkebangan. Sebuah peradaban yang dibangun melalui tradisi literasi yang kuat,
yaitu tradisi yang menempatkan baca-tulis sebagai pijakan. Memang begitulah
seharusnya para umat muslim, mengikat erat tradisi baca-tulis. Sehingga habitus
literasi ini menjadi pondasi dalam membangun peradaban islam.
World Bank di dalam salah satu
laporan pendidikannya, "Education in Indonesia - From Crisis to
Recovery" (1998) melukiskan begitu rendahnya kemampuan membaca
anak-anak Indonesia. Dengan mengutip hasil studi dari Vincent Greanary,
dilukiskan siswa-siswa kelas enam SD Indonesia dengan nilai 51,7 berada di
urutan paling akhir setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0)
dan Hongkong (75,5). Artinya, kemampuan membaca anak Indonesia memang paling
buruk dibandingkan anak dari negara-negara lainnya, sungguh miris.
Di era globalisasi saat ini,
informasi menjadi alat kekuasaan paling efektif. Bangsa mana yang menguasai
arus informasi dialah yang menguasai dunia.
Dalam hal ini Salim A Fillah mengemukakan, “Dalam sejarah, kuasa
wacana selalu memegang peranan penting yang menetukan arah perjalanan
masyarakat”. Dengan mengutip perkataan Abdullah Azzam, ”Sejarah Islam
ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merahnya darah para syuhada.”Johannes
Pedersen dalam bukunya Intelektualisme Islam mengungkapkan ”Jarang ada
kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis memainkan peranan yang begitu
penting seperti dalam peradaban Islam.”
“Maka amat naif jika umat Islam
merasa enggan untuk terjun ke kancah dunia jurnalistik, kecuali kalau kita
menunggu kembalinya penjajah berdatangan dengan pena dan tinta mereka.”(Amilia
Indriyanti, 2006).
Hal ini menguatkan kita untuk
menjadikan hal ini (baca-tulis) sebagai sebuah tradisi tentu saja harus
senantiasa ditumbuhkan sejak usia dini. Tradisi literasi yang harus terus
tumbuh kembangkan oleh generasi muda. Generasi penerus negeri, yang kelak
amanah perjuangan bangsa akan diembannya.
Teringat dengan kata pengantar
Taufik Ismail dalam buku Anis Matta, “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu,
agar anak pengecut jadi pemberani” begitu besarnya pengaruh sastra pada
anak hingga mampu merubah mereka menjadi pribadi yang pemberani. Sekali lagi
ini merupakan sebuah keharusan untuk mengajarkan para generasi muda kita untuk
membaca dan menulis. Menjadikan tradisi literasi sejak dini untuk membangun
peradaban islam. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan
lagi.Kini saatnya melatih mereka untuk membentuk habitus baca-tulis.
Al-Ghazali menyatakan bahwa “anak adalah amanah
di tangan ibu-bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya.
Apabila ia dibiasakan pada suatu yang baik dan dididik, niscaya ia akan tumbuh
besar dengan sifat-sifat baik dan akan bahagia di dunia akhirat. Sebaliknya,
apabila ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak dipedulikan seperti
halnya hewan, niscaya ia akan hancur dan binasa” demikian Al-Ghazali
menerangkan gambaran pentingnya penanaman nilai-nilai pada anak. Hingga
nantinya ia akan tumbuh dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak
kecil. Wallahu’alam. (Aeni)
Semangat Membaca tiada henti
BalasHapusDimulai sejak dini, yang terlanjur sudah dewasa dimulai saat ini. Ayo terus membaca untuk membuka jendela dunia.
BalasHapus