Pernahkah
kita sebagai guru atau orangtua terjebak dalam situasi seperti di bawah
ini. Dengan tangan gemetar, anak kita memberi secarik kertas hasil ulangan
harian matematikanya. Gemetar dan mulai terisak, sebab dapat nilai 5.
Bayangkan! Pasti banyak dari kita yang juga gemas dan mungkin ikut menangis
melihat hasil kerja anak kita.
“Ya Allah nak …ini tahun udah hampir 2010 matematika dapat 5? Sudah gak musim nak! Kalau kamu begini terus nanti kamu jadi apaaaaa!!!
Biasanya
adegan selanjutnya adalah anak dengan pasrah terdiam menampung amarah orangtua
baik bola salju bergulir. Bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan ‘pemukulan’
Pertama,
nilai hasil tes standar yang didapat oleh anak kita sangat tergantung dari
kualitas soal-soal yang dibuat oleh guru atau pengawas (baca: pembuat soal).
Dalam ‘penilaian modern’ yang dikenal dengan authentic assessment erdapat
konsep yang harus diketahui banyak orang, yaitu: SOAL YANG BERKUALITAS ADALAH
SOAL YANG DAPAT DIKERJAKAN OLEH SISWANYA.
Nah
… sampai disini kita para orangtua jika mendapatkan nilai tes anak kita rendah,
maka yang harus kita lihat dulu adalah ‘SOALNYA’ jangan buru-buru menghukum
anak kita dengan kata-kata yang menyakitkan hati anak kita.
“Dasar kamu bodoh!”
“Masa soal semudah ini kamu gak bisa!”
“Dulu mama selalu dapat nilai bagus, kamu kog gak bisa sih
seperti mama!”
Dan ratusan lagi kalimat yang akan membentuk ‘self image’
anak kita negatif.
Lebih
baik evaluasi soal yang diberikan kepada anak kita. Terlalu banyak kejadian,
sebenarnya anak kita mampu mengerjakan, hanya karena instruksi soal yang tidak
jelas atau sengaja dibuat tidak jelas, maka akhirnya anak kita tidak mampu atau
salah dalam menjawabnya.
Kriteria
soal yang tidak berkualitas oleh beberapa ahli pendidikan dinamakan
‘disabillity test’ atau tes ketidakmampuan. Soal-soal tersebut mempunyai
ciri-ciri di bawah ini:
- Instruksi soal yang tidak jelas
dan dibuat sulit dipahami.
- Soal yang mempunyai satu
jawaban tunggal.
- Soal yang mempunyai rubrik
penilaian tunggal.
- Soal yang berhenti pada tangga
terendah yaitu PENGETAHUAN.
- Soal yang tidak mempunyai
‘range’ dan tidak familiar.
1.
Instruksi soal yang tidak jelas dan dibuat sulit dipahami.
·
Contoh: Di bawah ini yang tidak
termasuk kecuali ……
2.
Soal yang mempunyai 1 jawaban tunggal.
·
Contoh 1: Peraturan dibuat untuk …
a) Dilaksanakan
b) Menjadi baik
c) Dipahami
d) Agar tidak melanggar
·
Contoh 2: Pintu kamar mandi terbuat
dari …
a) Bambu
b) Kayu
c) Seng
d) Plastik
Sang
pembuat soal model di atas mengharapkan siswa melingkari 1 jawaban yang benar
menurut persepsinya. Hal inilah yang membuat anak-anak kita salah dalam
menjawab, sebab persepsi anak kita berbeda dengan persepsi pembuat soal. Coba
perhatikan betapa banyak soal-soal anak kita seperti yang dicontohkan di atas.
Lalu jika anak kita salah melingkarinya, kita spontan memarahi anak kita. Kita
menyakiti hatinya. Kita membangun kaki-kaki negatif pada ‘konsep diri’nya.
Pembuat soal dan orangtua yang terjebak dalam kondisi seperti ini harus
‘istighfar’.
3.
Soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal. Soal yang sesuai dengan konsep
penilaian otentik, minimal harus mempunyai dua rubrik penilaian. Jika soal
tersebut mempunyai 1 rubrik penilaian, maka soal tersebut bukanlah soal
otentik. Soal tersebut tergolong dalam ‘disability test’ atau tes
‘ketidakmampuan’
·
Contoh soal multiple choice adalah
soal yang mempunyai rubrik penilaian tunggal, yaitu benar atau salah. Itu saja.
·
Contoh soal penilaian otentik adalah
“Tulislah dengan pemahaman anda apa saja yang menyebabkan terjadinya perang
Diponegoro.” Rubrik penilaian yang dibuat oleh pembuat soalnya adalah:
a) Kualitas ketepatan jawaban
b) Jumlah paragraf yang ditulis siswa
c) Alur penjelasan
d) Dan lain-lain
Nah
tentunya anda dapat menilai soal mana yang berkualitas. Sampai di sini, kita
langsung tersentak dan tersadar. Bagaimana kuailtas soal UASBN /UNAS yang mana
menggunakan multiple choice? Lalu hasil UASBN/UNAS digunakan menentukan standar
kelulusan anak kita dari jenjang satu ke jenjang yang lain. Lalu dengan UASBN /
UNAS jutaan orangtua kebingungan , was was dan stres menjelang UASBN / UNAS
anaknya. Penekanan belajar kognitif ditingkatkan. Sampai otak anak kita
mengalami ‘down shifting’ (mengkerut). Lalu paradigma orangtua berubah menjadi
menyekolahkan anaknya dengan target tunggal yaitu nilai UASBN /UNAS nya
berhasil dan tinggi. Saya membayangkan setiap tahun berapa banyak anak-anak
kita dan kita sebagai orangtua tertimpa ‘musibah psikologis’ seperti ini.
Apalagi
jika anak kita berhasil lulus, hasilnya masih dibandingkan dengan nilai yang
didapat oleh anak lain atau sekolah lain. Lalu jika anak kita tidak lulus, langsung
terjadi ‘kerapuhan mental beajar’, rasa ‘bodoh’, tidak percaya diri dan
lain-lain. Bahkan banyak kasus di beberapa daerah yang ‘bunuh diri’ sebab TIDAK
LULUS UASBN/UNAS.
4. Soal yang berhenti pada tangga
terendah yaitu ‘PENGETAHUAN’. Betapa banyak soal-soal anak kita yang
menghandalkan anak kita ‘hafal’. Namun tidak diikuti dengan naiknya tangga
kualitas, yaitu pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa, evaluasi, dan membuat
produk kreatifitas. Sekali lagi hanya berhenti pada PENGETAHUAN dengan konsep pertanyaan
klasik Who, What, When, Where.
Contoh:
·
Siapakah
penemu listrik …
·
Dan
lain-lain ….
·
Dimanakah
Sunan Kalijaga di makamkan?
·
Apakah
yang dimaksud dengan teori fisika quantum?
·
Pada tahun
berapakah terjadi perang Babat?
5. Soal yang tidak mempunyai
‘range’. Artinya pembuat soal tidak memberikan batasan batas materi yang akan
diujikan. Atau soal dibuat berbeda dengan ‘range’ yang sudah disepakati.
Contoh:
Guru berkata kepada siswa-siswanya,
“Anak-anak minggu depan ulangan bab 1 dan bab 2 ya …” Begitu hari H, soal yang
dikeluarkan adalah bab 5. Nah hal ini tidak sesuai dengan range.
6.
Soal yang tidak familiar. Artinya, terutama soal matematika, sains dan lainnya
harus lah melalui pelatihan reguler setiap harinya. Soal-soal kognitif yang
sudah di ‘drill’ setiap harinya itulah mestinya menjadi bahan untuk membuat
soal sesunguhnya. Sayang sekali, betapa banyak anak-anak kita waktu mengerjakan
soal UASBN /UNAS menemukan jenis dan model soalnya baru diketahui pada detik
itu juga. Anak-anak setiap harinya tidak pernah menjumpai soal dengan model
seperti itu. Nah inilah yang dimaksud dengan soal kognitif yang ‘tidak
familiar’.
Nah,
sungguh tulisan ini saya maksudkan untuk memberi pemahaman terutama buat
orangtua, agar lebih luas memandang hasil tes anak kita. Agar lebih cerdas
menganalisa hasil tes anak kita. Tanpa kita buru-buru menyalahkan anak kita
dengan kata-kata ‘bodoh’, ‘bahlul’, dan kata-kata lain yang menyakitkan hati.
Terakhir,
saya memohon kepada para orangtua, agar sekolah anak kita tidak ditujukan untuk
mencari nilai yang tinggi. Dengan beban bidang studi terbanyak di seluruh
dunia, jangan lagi anak kita tertekan dengan adanya ‘pintu gerbang terakhir
yang menyerapkan’ yaitu harus lulus tes dengan nilai tertinggi.
Ingat,
sekolah itu tempatnya anak berbuat salah. Tempatnya anak tidak bisa. Untuk
itulah anak kita disekolahkan agar cerdas dan baik. Sekolah bukan perusahaan
yang di dalamnya harus berisi karyawan-karyawan yang menunjukkan produktivitas.
Kalau bisa jangan ada kesalahan. Yang sering terjadi adalah konsep di
perusahaan ditarik ke sekolah.
Beberapa teman, sudah sadar dan mengatakan
kepada saya. “Pak Munif saya sekarang tenang. Saya tidak pernah menghukum dan
mencela apalagi memaksa anak saya untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi di
sekolahnya. Saya sekarang lebih banyak berbicara tentang isi dari soal-soal
dengan anak saya dan gurunya. Saya ulang kembali, kenapa anak saya salah
menjawabnya. Eh ternyata anak saya bisa kok menjawabnya, meskipun dengan cara
yang lain dan unik.Sumber : http://munifchatib.wordpress.com/2009/11/19/kecerdasan-anak-tidak-terkait-dengan-hasil-tes-standar/
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !